Sepenggal Dialog Ombak Dengan Manusia




Semilir angin terasa berbeda detik ini.
Ia menyapaku dalam keremangan malam yang masih temaram
Berbisik pada ombak pantai yang mencibir jiwaku dengan sinis.
Seraya berkata,”Hai manusia, lupakah kau bersujud pada Tuhan-Mu malam ini?

Aku...
Mencoba berdialog dalam kegoncangan jiwa yang rapuh
Menjelmakannya dalam gemericik air yang begitu berisik.
Jiwa rapuh ini mencoba menjadi perkasa
Meski mata tak berkompromi untuk sedikit terjaga
Raga menyerahkan seluruhnya pada pikiran yang masih dalam genggaman malam
Mencoba berontak pada rantai durjana yang membelenggu seorang hamba 
“Hai manusia, lupakah kau pada Tuhan-Mu?”
Begitu jiwamu diperturutkan nafsu
Ombak dan air mulai melontarkan semua Perihal dasar keangkuhan manusia 
Jiwapun mulai tawar

Pikiran berontak semakin liar
Mengerakkan raga yang semula diam
Mencoba terjaga untuk merebahkan wajah 
Sembari bersujud yang panjang 
Membasuh wajah yang tercoreng oleh dunia
Sekadar bersujud sejenak pada Sang Rabbi
Angin semakin semilir, meski dingin meremahkan tulang
Membuat kulit semakin mengigil

Jiwa berujar lirih pada ombak yang galak 
Kini, aku mencoba bangkit
Laju ombakpun setengah berisik menyiratkan simpul ketenangan
Pertanda telah berani menegur jiwa yang hampa
Tersadar diri dalam rengkuhan nikmat sujud pada sang Rabbi
Mengalahkan buih-buih kenistaan 
Larut dalam kristal garam ketawadhuan 
Tangis yang miris, 
gelombang ombakpun pecah
Keseimbangan mencari lajur pengharapan 
Terkenang kembali untuk berdzikir dalam gemerisik ombak pada Sang Ilahi
Kali ini, lantunan dzikir menggema ke seantero semesta
Ia menjadi saksi kemesraan seorang hamba pada Tuhan-Nya
Kemesraan alam yang bertahmid pada Rabbi-Nya
Akibat kekosongan liku perjalanan manusia
Untuk merangkumnya dalam visi yang seyogyanya masih sangat panjang 
Sepanjang jalur pantai yang tak bertepi

Korupsi : Dilema Penghancur Negeri


Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa nan amat subur
……………………………………

            Sepenggal bait lagu kebangsaan yang mengingatkan pada kondisi dan keindahan Indonesia. Keelokan yang dibangun oleh peradaban moral yang benar dan adil, tentu menjadi sebuah idaman bagi rakyatnya. Sebuah negara dengan jumlah penduduk besar dan kekayaan yang melimpah ruah tentu amat sangat berpeluang untuk memperoleh kesejahteraan yang merata bagi warganya. Akan tetapi, kondisi ini justru berkebalikan dengan kenyataan yang ditemui saat ini. Semuanya hilang dan musnah oleh tindakan amoral yang bernama korupsi. Bahkan Indonesia sendiri dinobatkan sebagai salah satu negara dengan jumlah koruptor terbesar di dunia. Bait-bait indah lagu tersebut kini justru tergantikan dengan tangisan Ibu Pertiwi.
         Banyak kasus tentang korupsi yang memadati berita utama di berbagai media di tanah air. Seakan tak pernah ada hentinya, rakyat dijejali dengan kondisi kebobrokan dari tingkah polah kebanyakan para penguasa negeri ini. Sebut saja kasus BLBI, Kasus Century bahkan beragam kasus lainnya yang susul menyusul silih berganti. Tak tanggung-tanggung, dana yang diselewengkan bukan saja bernilai ratusan ribu rupiah, melainkan sudah mencapai bilangan juta, miliaran bahkan trilyunan rupiah. Kesemuanya dengan santainya mengalir ke rekening para tikus di negara ini.
Para pelakunya pun dari tingkat bawah sampai atasan, seperti halnya Gayus Tambunan, para bupati hingga mantan menteri sekalipun. Yang tak kalah mengherankan, banyak pelakunya yang ternyata adalah orang yang jelas-jelas memiliki pendidikan tinggi serta pengetahuan nilai moral. Bahkan ada pula yang menyandang gelar Haji. Sekaliber orang yang telah terlabel iman dan kuat pun ternyata tetap masih dapat ditembus oleh tawaran nominal yang mengiurkan.