Pemilihan langsung (Pemilu) sebagai pesta demokrasi terbesar, tinggal menunggu waktu menuju perhelatannya. Momen yang tepat sebagai penyaluran aspirasi dan implementasi demokrasi ini, telah digembor-gemborkan sebagai wacana menuju kehidupan bangsa yang baru. Beragam Baliho dan pamplet para calon aspirator bangsa terpampang di setiap ruas jalan. Hiruk pikuk diiringi untaian janji dan visi telah menghiasi setiap gambar. Ditambah bumbu-bumbu semboyan yang mengandung nilai dan dan makna. Mumpung masih kampanye, mumpung akan pemilu, dan mumpung punya jalan menuju kekuasaan.
Entah dirasa ataupun tidak, perhelatan 4 tahunan ini, terkadang hanya sebagai sebuah perayaan ritual yang dimanfaatkan oleh berbagai oknum untuk sebuah kepentingan. Mencari kekuasaan, jabatan dan keglamoran hidup ditengah ekonomi yang carut marut. Pesta 4 tahunan tersebut telah membuat bangsa ini dinilai sebagai negara yang berhasil menerapkan sistem demokrasi secaramenyeluruh di mata Internasional. Meskipun pada kenyataannya, keadaan tersebut justru masih membingungkan dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri.
Esensi pemilu adalah sarana memilih para calon penguasa yang akan duduk di bangku pemeritahan sebagai sebuah simbol dari aspirasi rakyat. Akan tetapi, bangsa ini diniali masih kabur menilai esensi negara sebagai sebuah kedaulatan. Mengutip pendapat Marxis dalam teori klasiknya, negara hanya dijadikan semacam instrumen dan panitia para pengelola kepentingan-kepentingan para penguasa.
Kebijakan negara hanyalah resultan dari kekuatan-kekuatan yanga ada. Negara tidak lagi punya kemandirian karena kebijakan tertentu ditentukan oleh berbagai kelompok kepentingan. Dari definisi tersebut memang acuannya ketika masyarakat Indonesia memperbincangkan mengenai pemilu, yang ada di benak hanyalah doktrin keberadaan para elite penguasa yang duduk memangku jabatan dalam sistem pemerintahan. Lantas, sampai kapan keadaan yang demikian akan diusung oleh bangsa yang memegang teguh semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Malahan semboyan tersebut menjadi terbalik saat ini,dari rakyat, oleh rakyat dan untuk penguasa.