Permainan Tradisional : Sarana Sosialisasi Nilai Dan Norma Bagi Anak

Masih ingat dengan beragam permainan tradisional seperti : petak umpet, permainan kelereng, gasing, engrang dan masih banyak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu? Permainan tersebut saat ini disebagian wilayah memang masih dapat dijumpai, namun memang tidak banyak lagi dimainkan oleh anak-anak kecil di era 90 an dulu. Perubahan sosial yang terjadi dewasa ini memang telah banyak mengubah aspek kehidupan masyarakat dalam banyak hal. Tidak sekadar sebagai label, namun banyak diantaranya mengubah struktur dan budaya sebagai basis sebuah masyarakat. Salah satunya pada transformasi permainan tradisional dan permainan modern yang berkembang sekarang ini. Disatu sisi, permainanan tradisional seperti gobag sodor, nekeran, lompat tali, lompat kodok, petak umpet, saat ini terlihat jarang sekali dilakukan oleh anak-anak kecil zaman sekarang. Banyak diantaranya yang sudah beralih pada permainan modern yang menawarkan kecanggihan teknologi, mulai dari playstation d, game center,sega dll. 


 Namun, lebih jauh, bila kita memaknai pergeseran tersebut, permainan tradisional pada dasarnya memiliki unsur dalam membentuk kecakapan dalam diri anak. Tidak saja kemampuan kognitif yang terasah, namun kemampuan afektif dan motorik dapat terlatih secara bersamaan. Anak-anak pada dasarnya membutuhkan hal tersebut sebagai upaya pembentukan karakter dalam kepribadiannya. Sehingga, permainan tradisional menjadi sarana dalam mensosialisasikan nilai dan norma yang ada.Nilai sebagai sesuatu yang dianggap baik dan buruk pada suatu masyarakat. Sedangkan norma sebagai kaidah aturan yang diterapkan dalam suatu lingkungan sosial masyarakat. Dengan demikian, ketika sosialisasi tersebut berjalan dengan baik, maka seorang individu dapat berlaku sesuai dengan aturan yang baik dalam suatu masyarakat.

Permainan Lompat Katak (Sumber : Kisahasalusul.blogspot.com)
Sebagai contoh, permainan dakon atau congklak, saat ini memang sudah awam dilakukan oleh anak-anak ketika waktu istirahat berlangsung disekolah. Permainan ini sebenarnya melatih kemampuan motorik anak dalam menggerakkan biji dakon, melatih kemampuan kognitif dan afektif anak ketika berhitung sembari bernyanyi. Serta kemampuan anak dalam menghormati rekannya ketika bermain dan mesti menerima kekalahan secara sportif dan merasakan kemenangan secara bijak. Contoh lainnya adalah lompat kodok ataupun petak umpet yang pada dasarnya meskipun terbilang sederhana, pembentukan modal sosial secara tidak langsung terjadi, ketika temannya bermain, sang anak mampu mentolerir dan antri secara bergantian sesuai urutan, disamping itu nilai jaringan dan komunitas yang terbentuk melibatkan banyak anak. Sehingga pola relasi, interaksi dan sosialisasi secara tidak langsung menjadi bagian yang erat dalam diri sang anak.
Permainan Engrang (Sumber : news.lewatmana.com)
Berbeda dengan permainan modern yang lebih cenderung mengesampingkan kebersamaan dan interaksi sosial asecara langsung. Playstation ataupun game sejenis memang dibutuhkan sebagai pengenalan anak terhadap informasi teknologi. Namun, menjadi persoalan manakala permainan tersebut justru mengalienasi sang anak dari kecakapan sosial yang seharusnya menjadi bagian dalam proses sosialisasi nilai dan norma. Tak pelak, bila hal tersebut terjadi terus menerus, anak akan cenderung mengarah pada sikap individualistik dan apatis pada lingkungan sekitar. Anak merasa lebih nyaman berada di dunianya sendiri. Sehingga sosialisasi yang seharusnya menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter menjadi terkesampingkan. Tidak hanya itu, anak akan dibawa pada dunia yang hiperalitas, dimana tak ada batasan lagi antara kenyataan dan fantasi. Menyikapi hal tersebut, bijak rasanya bila permainan anak menjadi satu sorotan penting bagi para orang tua dan guru sebagai bagian dari pendidikan. Tidak semata-mata hanya pada hal teoritik penerapan nilai dan norma, namun justru melalui permainan yang mengarahkan anak ke sikap humanis menjadi perhatian penting sebagai sarana praktis untuk mensosialisasikan nilai dan norma dalam kehidupan.
Berbeda dengan permainan modern yang lebih cenderung mengesampingkan kebersamaan dan interaksi sosial asecara langsung. Playstation ataupun game sejenis memang dibutuhkan sebagai pengenalan anak terhadap informasi teknologi. Namun, menjadi persoalan manakala permainan tersebut justru mengalienasi sang anak dari kecakapan sosial yang seharusnya menjadi bagian dalam proses sosialisasi nilai dan norma. Tak pelak, bila hal tersebut terjadi terus menerus, anak akan cenderung mengarah pada sikap individualistik dan apatis pada lingkungan sekitar. 
Permainan Dakon (Sumber : geduba.com)
Anak merasa lebih nyaman berada di dunianya sendiri. Sehingga sosialisasi yang seharusnya menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter menjadi terkesampingkan. Tidak hanya itu, anak akan dibawa pada dunia yang hiperalitas, dimana tak ada batasan lagi antara kenyataan dan fantasi. Menyikapi hal tersebut, bijak rasanya bila permainan anak menjadi satu sorotan penting bagi para orang tua dan guru sebagai bagian dari pendidikan. Tidak semata-mata hanya pada hal teoritik penerapan nilai dan norma, namun justru melalui permainan yang mengarahkan anak ke sikap humanis menjadi perhatian penting sebagai sarana praktis untuk mensosialisasikan nilai dan norma dalam kehidupan.


2 komentar

  1. Liat foto2nya jadi inget masa kecil deh, jaman aku dlu henpon mash mnjdi barang mewah banget..
    Permainan kayak gini udh jarang baget ditemukan di kota. Paling2 msh ad itu di pedesaan yg dalam. Mungkin pula...soalnya perkembangan teknologi sudah sangat mempengatuhi pola main n pola sikap anak.

    BalasHapus
  2. Main mainan tradisional bagus buat sosialisasi dan ketangkasan

    BalasHapus

Terimakasih banyak telah berkunjung ke Blog Saya
Semoga silaturahmi senantiasa terjalin (^_^)