Beberapa waktu yang lalu, penulis sempat menerima pesan singkat melalui grup WA dari salah seorang teman yang juga berstatus sebagai pendidik. Judul pesan tersebut persis sama dengan judul yang menjadi judul tulisan ini. Dalam tulisan itu, penulis mengemukakan suatu contoh kasus yang seorang rekan alami, tatkala hendak menyeberangi jalan.
Saat itu, ia menemani salah seorang rekannya yang kebetulan berasal dari Eropa. Saat itu, jalanan terlihat tidak terlalu padat, rekan tersebut bersegera untuk menyeberang. Namun, ia cukup kebingungan saat tahu, bahwa rekan dari Eropa tersebut justru menahan dan mengajaknya mencari zebra cross. Ia bersikukuh untuk tetap menyeberang melalui Zebra Cross. Bagi kita orang Indonesia, tentu hal ini justru aneh, bahkan bisa jadi, kita mengklaim bahwa rekan Eropa tersebut justru mempersulit dirinya sendiri. Rekan Eropa tersebut malahan bingung ketika melihat banyak orang berlalu lalang menyeberang sembarangan. Ia sempat berkata bahwa kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh kondisi pendidikan yang hanya sekadar “knowing” dan belum menyentuh ranah “Being”.
Saat itu, ia menemani salah seorang rekannya yang kebetulan berasal dari Eropa. Saat itu, jalanan terlihat tidak terlalu padat, rekan tersebut bersegera untuk menyeberang. Namun, ia cukup kebingungan saat tahu, bahwa rekan dari Eropa tersebut justru menahan dan mengajaknya mencari zebra cross. Ia bersikukuh untuk tetap menyeberang melalui Zebra Cross. Bagi kita orang Indonesia, tentu hal ini justru aneh, bahkan bisa jadi, kita mengklaim bahwa rekan Eropa tersebut justru mempersulit dirinya sendiri. Rekan Eropa tersebut malahan bingung ketika melihat banyak orang berlalu lalang menyeberang sembarangan. Ia sempat berkata bahwa kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh kondisi pendidikan yang hanya sekadar “knowing” dan belum menyentuh ranah “Being”.
Apa maksudnya? Selama ini, realitas pendidikan yang terjadi di Indonesia hanya merujuk pada ranah kognitif siswa. Belajar hanya semata-mata dimaknai sebagai pengetahuan syang hanya bersifat parsial dan hapalan. Kondisi ini ditunjang oleh keberadaan kurikulum yang hanya dituntut untuk sekadar menuntaskan materi pelajaran semata. Guru pun tak ubahnya seperti wartawan dan aktor yang dikejar-kejar oleh deadline dan jam tayang.
Waktu satu semester dengan banyak materi menjadi beban tersendiri, tidak hanya bagi guru tetapi juga bagi siswa. Siswa dianggap sebagai objek yang harus tahu semua hal. Akibatnya, pengetahuan yang diberikan tidak secara mendalam mampu untuk dipelajari. Bila berkaca dengan beberapa negara Eropa yang dari segi pendidikan tergolong maju.
Negara-negara tersebut memberlakukan 3 mata pelajaran utama, yakni : Science, Social and Languange. Mata pelajaran tersebut terintegrasi secara nyata melalui minat yang muncul dari para siswanya serta kemampuan pendidik yang mumpuni untuk mengaktualisasikan diri melalui model pembelajaran yang praktis, inovatif dan aplikatif. Siswa diajak untuk berpikir secara nalar dan logika untuk bisa menilai dan memutuskan segala sesuatu.
Waktu satu semester dengan banyak materi menjadi beban tersendiri, tidak hanya bagi guru tetapi juga bagi siswa. Siswa dianggap sebagai objek yang harus tahu semua hal. Akibatnya, pengetahuan yang diberikan tidak secara mendalam mampu untuk dipelajari. Bila berkaca dengan beberapa negara Eropa yang dari segi pendidikan tergolong maju.
Negara-negara tersebut memberlakukan 3 mata pelajaran utama, yakni : Science, Social and Languange. Mata pelajaran tersebut terintegrasi secara nyata melalui minat yang muncul dari para siswanya serta kemampuan pendidik yang mumpuni untuk mengaktualisasikan diri melalui model pembelajaran yang praktis, inovatif dan aplikatif. Siswa diajak untuk berpikir secara nalar dan logika untuk bisa menilai dan memutuskan segala sesuatu.
Satu contoh yang menarik yang diceritakan oleh rekan pula bahwa di negara eropa, penalaran logis telah diajarkan kepada anak anak usia dini. Sebagai contoh, ketika seorang guru meletakkan dua buah akuarium yang sama–sama diisi oleh ikan. Disatu akurium, seekor ikan dibiarkan berenang sendirian. Sedangkan di dalam Akuarium lainnya,diberikan beberapa ekor ikan yang tampak saling berebutan makanan. Anak-anak tersebut diberikan gambaran sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan.
Tak jarang, beberapa anak bahkan bertanya mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin itu semua terjadi?. Dari kondisi tersebut, penalaran sudah mulai diajarkan kepada anak. Sehingga tak jarang memicu pertanyaan-pertanyaan sederhana namun sarat dengan makna. Proses berpikir yang demikian memberikan stimulus yang akan berdampak pada beragam respon dari anak-anak tersebut.
Pada kondisi inilah, transfer of knowledge dan transfer of value dapat terjadi oleh guru. Sebagai seorang pendidik ia dapat memberikan banyak pilihan kepada murid-muridnya untuk mampu berpikir kritis dengan baik dan benar.
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber
Tak jarang, beberapa anak bahkan bertanya mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin itu semua terjadi?. Dari kondisi tersebut, penalaran sudah mulai diajarkan kepada anak. Sehingga tak jarang memicu pertanyaan-pertanyaan sederhana namun sarat dengan makna. Proses berpikir yang demikian memberikan stimulus yang akan berdampak pada beragam respon dari anak-anak tersebut.
Pada kondisi inilah, transfer of knowledge dan transfer of value dapat terjadi oleh guru. Sebagai seorang pendidik ia dapat memberikan banyak pilihan kepada murid-muridnya untuk mampu berpikir kritis dengan baik dan benar.
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber
Anak-anak daya pikirnya dan pertanyaannya akan banyak tentunya
BalasHapusKalau semua tenaga pendidik paham akan hal ini pasti dunia belajat mengajar itu indah ya mbak
BalasHapusIya, belajar identik sekali dengan akademik, padahal bermain di luar kelas pun adalah belajar ^^
BalasHapusKayaknya saya bukan guru yang baik, masih suka kesel ama muridnya yang reseh. semoga makin lama makin ikhlas ya
BalasHapusBanyak guru yang belum bisa being a role model, padahal belajar bukan hanya di sekolah dan mencari nilai. Walaupun anin pernah jadi guru, tapi tetep aja ngerasa begitu mbak..
BalasHapusHarus buat RPP nih mbak agar para guru dapat menerapkan di sekolah maupun lingkungannya
BalasHapusGuru digugu dan ditiru. Guru harusnya jadi panutan. Sulit memang. Saya sebagai guru juga merasa banyak kekurangan. Masih ingin terus memperbaiki diri. Semoga makin banyak guru dan orangtua yang sadar bahwa pendidikan tak sekadar punya nilai bagus di rapot
BalasHapusMengubah cara belajar ya supaya anak didik mendapat stimulus dari cara yang berbeda
BalasHapusBelajar di sekolah memang mengikuti alur kurikulum saja jadi terlihat kaku, coba lihat sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia, yg kreatif di bidang kewirausahaannya jadi luar biasa sekalikan..
BalasHapus